Bekasimedia – Ahad (24/05) lalu, menjadi pertandingan yang paling emosional dalam karir sepakbola seorang Xavi Hernandez. Pertandingan terakhir La Liga Barcelona di Camp Nou melawan Deportivo yang berakhir imbang 2-2 itu menjadi perjalanan terakhirnya di klub asal kota Catalan tersebut, memang Barcelona masih akan menyisakan 2 final lagi di akhir musim melawan Athletic Bilbao di Copa Del Rey dan Juventus di Liga Champions.
Sebelum pertandingan terakhirnya tersebut Xavi memberikan konfirmasi langsung didepan media perihal kelanjutan karirnya, ia akan bermain untuk klub asal Qatar Al-Sadd musim depan. Pendukung yang biasa memberikan banner besar “Xavi Quedate” atau Xavi Apakah Kamu Tidak Ingin Bertahan kali ini menyerah, mereka memberikan penghargaan kepada legendannya berupa tulisan besar bertuliskan “6racies” 6 yang di ambil dari nomor punggung terakhirnya bersama Barcelona dan Gracies yang berarti terimakasih dengan ornamen gradien warna kebesaran kota Catalan.
Ia bukan sekedar seorang pemain, ia merupakan simbol terbesar klub yang nantinya Barcelona akan sulit untuk mencari sosok pengganti dirinya. Ketika dirinya hanya menjadi pemain yang memenuhi daftar pemain saja, ia sempat frustasi untuk menjadi seorang pesepakbola, karena pada masa itu pemain yang mampu menarik mata pelatih dan scout pemain adalah seorang pemain yang berskill tinggi layaknya Ronaldo yang baru Barcelona datangkan dari PSV kala itu.
Barcelona pun juga begitu, lini tengah mereka saat masih dilatih oleh Frank Rijkaard diisi oleh nama-nama tenar pada masanya. Edmilson dan Mark Van Bommel mampu menyingkirkan nama Andres Iniesta dan Xavi Hernandez di daftar pemain inti Barcelona saat final Liga Champions melawan Arsenal. Paling tidak Iniesta sempat bermain dibabak kedua, tetapi Xavi hanya menjadi pemain cadangan yang tidak terpakai oleh sang pelatih.
Xavi menjadi sangat terharu ketika selebrasi pengangkatan piala Liga yang secara tradisi Barcelona lakukan di depan supporternya langsung di Camp Nou, ia tak bisa menahan rintihan harunya, klub yang mengajarkannya bermain sepakbola sedari dini dan klub yang memberikannya banyak koleksi gelar dan juga mampu mengantarkan dirinya masuk ke skuad inti negaranya dimana ia juga mendapatkan gelar Piala Dunia.
Posturnya memang kecil dan gerakannya agak lambat dibanding Lionel Messi ataupun Iniesta, tetapi ia mampu membaca lebih cepat arah rivalnya berlari dan memberikan visi bermain yang kuat untuk Barcelona. Dan ketika ia dalam kondisi terbaiknya, pemain tengah manapun yang mau mematikannya dengan duel fisik maka harus bertekuk lutut.
“Mereka tidak benar-benar menyadari keberadaan saya hingga tahun 2008, ketika saya sudah hampir 10 tahun disini,” katanya kepada El Perrodico. “Jika kalian melihat buku rekor saya di Barcelona sebelum tahun itu maka kalian akan menertawakan saya, karena saya benar-benar menjadi cadangan mati pada masa itu. aku diledek hanya sebagai pemain yang mampu menendang bola dari sisi satu lapangan ke sisi lainnya.”
Ia membagi karirnya di Barcelona dalam 2 bagian, bagian pertama adalah saat dirinya terus menerus duduk di bangku cadangan dan menonton para pemain lainnya bermain di pertandingan besar, dan yang kedua adalah saat Pep Guardiola datang dan melatih tim senior Barcelona dimana ia mampu menjadi pemegang baton orkestra terbaik Barcelona semenjak ditinggal penciptanya Johan Cruyff. “Sebelum Pep Guardiola datang saya benar-benar tak terpakai di atas lapangan,” syukurnya, setelah itu bukan hanya Pep yang menyadari talenta fantastis Xavi, tetapi pelatih Spanyol kala itu Luis Aragones memutuskan untuk membangun tim yang mampu menopang Xavi di lini tengah yang kemudian terbukti sukses mendatangkan trofi terus menerus bagi negaranya.
Bersama dengan rekannya sesama alumni La Masia Andres Iniesta, duet ini disebut sebagai tik-tok Barcelona di lini tengah sebelumnya mereka ditemani oleh Yaya Toure yang ternyata harus hijrah setelah Barcelona merengkuh treble winner dan beruntungnya Pep mampu menemukan sosok pengganti ideal Yaya Toure di dalam diri Sergio Busquets yang menjadikan lini tengah Barcelona menjadi lini tengah terbaik di dunia.
Busquets, Iniesta, Xavi dan ditambah Xabi Alonso juga membuat Spanyol mendominasi hampir semua kejuaraan yang diikutinya. Permainan terbaik Xavi mungkin saat Barcelona bertemu dengan Real Madrid yang diasuh oleh Jose Mourinho di musim 2010/2011, kala itu Xavi yang mendominasi lini tengah mampu menghancurkan Madrid 5-0 dimana Real Madrid diperkuat oleh Ronaldo dan Kaka. “kita memberikan tepuk tangan penghormatan kepada diri kita sendiri di ruang ganti dan juga di akhir laga,” kata Xavi dalam wawancaranya pasca pertandingan.
Satu dari sekian banyak alasan mengapa dirinya memilih Qatar sebagai pelabuhan terakhirnya dibanding MLS adalah di Al-Sadd dia bisa langsung memulai karir kepelatihannya dimana ia bercita-cita suatu hari ia akan melatih Barcelona dan mengikuti jejak Pep Guardiola ataupun Luis Enrique. (frb)
The post Xavi, Simbol Terbaik Filosofi Barcelona appeared first on Bekasi Media.
Sumber Suara Jakarta