Malam kemarin saya mimpi bertemu dengan pemain sepakbola senior. Ia sudah pensiun dan setelah saya cek lagi ternyata sudah meninggal. Dalam mimpi itu, ia sedang terbaring sakit dan saya datang ke rumahnya untuk menjenguk. Lalu dalam pertemuan itu, sambil terbaring di tempat tidur, ia banyak bercerita tentang kesedihannya menyaksikan kabar demi kabar sepakbola nasional.
Ia sedih dengan mandegnya prestasi tim nasional hingga campur tangan pemerintah yang berujung sangsi FIFA pada PSSI. Ia sedih mendengar kabar ada pesepakbola yang banting setir jadi pesepakbola tarkam hingga menjadi tukang buruh bangunan ketika sangsi itu benar-benar terjadi.
Aha! Kebetulan saya sedang membaca buku “Dalam Lingkaran Kebisuan” sepekan terakhir ini. Dalam buku tulisan sahabat saya Erwyn Kurniawan itu, di halaman 133 Erwyn menulis dengan judul, “Don’t Cry For Me Evan Dimas”. Bisa jadi tulisan Erwyn itu yang terbawa hingga alam mimpi.
Dalam tulisan itu, Erwyn menyajikan kisah tangisan Evan Dimas sesaat sebelum laga melawan Myanmar digelar dalam laga di Sea Games 2015. Evan Dimas yang sebelumnya mengantarkan Indonesia juara Asia Tenggara untuk kelompok umur 19 tahun harus mengangis karena ajang Sea Games 2015 merupakan ajang internasional terakhir. Setelah itu, sepakbola Indonesia memasuki babak kelam sangsi FIFA.
“Ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, beberapa pemain menangis. Begitu pula saya. Saya menyadari bahwa ajang ini menjadi laga internasional terakhir yang akan Indonesia mainkan sampai sangsi FIFA dicabut. Tidak ada yang bisa menebak berapa lama sangsi FIFA itu bertahan.mungkin bisa 2-4 tahun?” ujar pelatih timnas U-23 kala itu, Aji Santoso.
“Evan memang layak menangis. Ia dan rekan-rekannya korban dari kebijakan absurd pemerintahan Jokowi. Hanya dengan alasan banyak mafia sepakbola di PSSI, klub-klub yang tidak professional, timnas yang tidak berprestasi, kemudian pemerintah membekukan induk sepakbola tanah air tersebut,” tulis Erwyn dalam bukunya.
Prediksi Aji Santoso Alhamdulillah meleset, 2016 sangsi sudah dicabut dan timnas Indonesia dengan segala keterbatasan persiapan bisa melaju hingga babak final di Piala AFF desember lalu. Pendapat Erwyn benar. Kebijakan absurd itu memporak-porandakan kehidupan pesepakbola tanah air. Kini hubungan PSSI dan pemerintah mulai membaik, kabarnya Maret nanti Liga (resmi) Indonesia kembali bergulir. Semoga!
Selain menyoroti sepakbola, Dalam Lingkaran Kebisuan banyak menyoroti bungkamnya media arus utama dalam memotret berbagai kebijakan absurd pemerintahan Jokowi. Kebijakan Jokowi soal harga BBM misalnya, media arus utama menurut Erwyn lebih banyak bisu dan membiarkan isu ini terlewati. Isu kenaikan BBM tak lagi seksi seperti masa pemerintahan sebelumnya.
Di Halaman 17, Erwyn menyoroti ketika terjadi kasus Jokowi salah tandatangan Peraturan Presiden (Perpres) 39 Tahun 2015 Tentang Uang Muka Mobil Pejabat Negara pada Lembaga Negara. Dalam kasus sefatal itu, media arus utama membungkusnya dengan baik dan menjadikan Jokowi sebagai pihak yang tak bersalah.
Jika hari ini banyak bermunculan media-media anti-mainstream yang bergerilya di dunia digital, bisa jadi itu karena media arus utama tak bisa lagi diharapkan untuk menyuarakan keadilan dan penderitaan rakyat. Kecil namun tak mau kehilangan akal sehat.
Buku Dalam LIngkaran Kebisuan ini menarik, memotret yang sedang terjadi hari ini. Layak dibaca dan dijadikan referensi!
Enjang Anwar Sanusi
The post Dalam Lingkaran Kebisuan, Mimpi dan Tangisan Evan Dimas appeared first on BEKASIMEDIA.COM.
Sumber Suara Jakarta