[OPINI] KNPI Tak Punya Tempat Ngopi

Oleh : Syahrul Ramadhan*
Melihat kekisruhan dualisme Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) saat ini tidak ada kata lain, ” Runtuhnya Bangunan Pemuda”. Saling mengklaim paling sah dan benar dengan argumentasi masing-masing kelompok, padahal warna almamater satu yaitu biru. Fenomena ini sama seperti kisruh partai politik yang terpecah, Golkar dan PPP. Tak perlu dipusingkan, soa itu, intinya KNPI semi politik dari parpol, jadi wajar jika terjadi dualisme.
Membawa nama pemuda, tapi orientasi beda. Yang jelas, menurut pengertiaan yang saya tahu, pemuda butuh ruang eksistensi dan kreasi bukan membicarakan atau berkutat pada produk kekuasaan. Hemat saya, Saat ini KNPI harus mencari lokasi tempat ngopi yang tepat bukan numpang dengan elit parpol dan kekuasaan.
Dualisme KNPI bukan hal baru, sebelumnya pernah terjadi. Sejak 23 Juli 1973, KNPI dideklarasikan dengan Davd Napitupulu sebagai ketua umum pertama.
Melihat sejarahnya, berdirinya KNPI merupakan bagian dari strategi Orde Baru dalam rangka membangun korporatisme negara. Usaha ini dilakukan dalam rangka penegaraan berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan dan privatisasi beberapa urusan kenegaraan.
Dengan kata lain, korporatisme negara adalah suatu sistem perwakilan kepentingan yang melibatkan pemerintah secara aktif dalam pengorganisasian kelompok kepentingan sehingga kelompok-kelompok kepentingan itu terlibat dalam perumusan kebijakan umum. Segera saja, setelah KNPI dibentuk, organisasi ini menjadi pengawal kebijakan pemerintah Orde Baru di bidang kepemudaan dan kemahasiswaan.
Eksistensi KNPI berlangsung cukup lama sampai lembaga ini kembali digugat setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 dengan munculnya banyak wacana mengenai pembubarannya. Dalam banyak hal, KNPI bukanlah representasi organisasi kepemudaan yang kritis yang hadir untuk memberikan tanggapan atas disparitas ekonomi, budaya, sosial dan politik pada saat itu, melainkan malah menjadi garda depan yang ikut serta melanggengkan rezim.
Tuntutan pembubaran KNPI bisa dilacak dan diuraikan dalam penjelasan berikut; pertama, kelahiran KNPI merupakan by design yang diinisiasi kekuasaan dan bukan genuin yang digagas dan dipelopori oleh para pemuda. Dalam konteks seperti ini, otentisitas/kemurnian KNPI yang akan memperjuangkan peran pemuda menjadi nihil. Karena sifatnya yang by design, yang terjadi adalah KNPI menjadi pelayan dan kepanjangan tangan si pembuat desain, dalam hal ini rezim Orde Baru.
Kedua, dalam perjalanannya KNPI tidak lebih dari sekedar alat dan distribusi kekuasaan. Tidak dipungkiri bahwa KNPI telah menjadi elan vital dan resources politik yang strategis bagi pemerintahan Soeharto dengan manjadikan Golkar dalam proses pengkaderan sekaligus bamper politiknya. Realitas ini dapat diamati dari para tokoh KNPI yang kemudian menjadi anggota legislatif dan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Ketiga, KNPI menjadi medan magnet bagi perkelahian? untuk memperebutkan struktur organisasinya sebagai jalan untuk meretas karir di bidang politik bagi elemen-elemen Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terlibat didalamnya. Karena itu KNPI lebih memperlihatkan watak sebagai organisasi kepemudaan yang pragmatis, miskin gagasan, dan kering nilai. Kondisi ini dimungkinkan karena memang struktur kekuasaan an-sich mengakui KNPI sebagai satu-satunya organisasi kepemudaan yang sah dan diakui.
Reformasi 1998 telah mengkoreksi hampir seluruh peran KNPI selama ini. Idrus Marham yang terpilih sebagai Ketua Umum pada era Reformasi mewacanakan rejuvenasi KNPI atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Rejuvenasi dilakukan tak lain karena situasi dan kondisi atau realitas obyektif internal dan eksternal yang dihadapi oleh KNPI telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar dibanding yang dialami pada Orde Baru. Rejuvenasi ini akhirnya memaksa KNPI untuk independen dan kembali memposisikan pemuda sebagai mitra kritis pemerintah. Dengan visi baru ini, di era reformasi eksistensi KNPI tetap dipertahankan.
Era reformasi yang memberikan kebebasan politik masyarakat ternyata menggiurkan kaum muda untuk terlibat langsung pada kepentingan politik partai. Ketua Umum KNPI Hasanuddin Yusuf yang mendirikan PPI (Partai Pemuda Indonesia) dituntut mundur oleh sebagian besar anggota KNPI yang terdiri dari ormas pemuda dan mahasiswa, sebab hal ini bisa membawa KNPI dan pemuda yang tergabung di dalamnya tidak independen dan rentan dengan kepentingan partai politik. Apalagi posisi ketua umum yang langsung menjadi ketua umum partai politik dinilai makin mempersulit pemuda di tengah perannya sebagai salah satu entitas yang netral di masyarakat.
Tuntutan mundur ketua umum KNPI menimbulkan perpecahan di tubuh KNPI. Kongres KNPI ke-12 akhirnya berlangsung di dua kubu yang berbeda, pertama kubu yang tetap menolak pemecatan ketua umum mengadakan kongres di Jakarta pada 25-28 Oktober 2008, sementara kongres lainnya berlangsung di Bali pada 28 Oktober-2 Nofember 2008 dan sekarang di tahun 2017, KNPI kembali menjadi dualisme setelah diterbitkannya SK Kemeneterian Hukum dan HAM yang menyatakan bahwa Fahd A. Rafiq sebagai Ketua Umum KNPI. Semua terkena sindrom konfliknya termasuk di Kota Bekasi.
Dualisme kepemimpinan KNPI ini makin mempersulit langkah dan geraknya dalam mewujudkan perannya di tengah masyarakat. Lalu, timbul sebuah pertanyaan, apa peran KNPI selama ini, sebagai rumah pemuda kah, atau organisasi pemuda yang diracik untuk kepentingan politik menuju perebutan kekuasaan.

 

Penulis adalah Founder Komunitas Teman Ngopi

 

The post [OPINI] KNPI Tak Punya Tempat Ngopi appeared first on BEKASIMEDIA.COM.



Sumber Suara Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama