Benarkah Koruptor Tidak Punya Kemaluan ?

BeritaSumbar.com,-Guru Pengembangan Pribadi Lily Tomkins pernah berujar, “hal yang menjadi permasalahan dalam balap tikus adalah bahwa sekalipun Anda menang, Anda tetap seekor tikus”. Siapa yang mau disebut tikus walaupun pemenang? Apa tidak malu disebut tikus, binatang pengerat yang terkenal rakus.

Sewaktu masih di Universitas Andalas Padang, Saldi Isra berkata “Para koruptor yang ditangkap, ditahan bahkan diadili serta dijauhi hukuman lebih memilih malu daripada miskin; Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi seharusnya jangan terperangkap pada prinsip bahwa pemidanaan hanya pada terpidana saja; Semua orang yang menikmati seharusnya kena juga” (Jurnal Nasional, 22 April 2009). Saldi Isra sekarang sudah menjadi Hakim di Mahkamah Konstitusi dan pendapatnya ini ia kemukakan dalam Lokakarya dengan judul “MENDORONG RUU KORUPSI YANG IDEAL”. Namun apakah benar orang korupsi karena takut miskin? Apa benar, lebih baik malu daripada miskin? Apakah kini juga masih berlaku?

KEMALUANNYA TAK LAGI MEMALUKAN

Koruptor memang bukan Pekerja Seks Komersial tetapi apakah benar alat kemaluan para koruptor tidak lagi berfungsi sehingga berani pasang muka didepan umum dan kamera tv. Bagaimana dengan  Nazaruddin Sjamsuddin yang terpaksa cuti dari Penjara untuk menjadi wali pernikahan putrinya? Biar bagaimanapun tetap saja malu! Rekannya Mulyana W. Kusuma yang beberapa waktu usai bebas dari Lembaga Pemasyarakatan memang beberapa kali nongol di TV namun terkesan perasaan malunya tidak bisa ditutup-tutupi. “Lebih baik malu daripada miskin” mungkin hanya ungkapan sesaat dari mereka-mereka yang sudah punya niat namun belum punya kesempatan. Kalau punya kesempatan dan tertangkap apalagi ditahan bahkan hingga dipidana dan usai bebas pun, yang namanya kemaluan tetap saja ada. Tidak percaya, coba saja telanjang bulat!

Kecuali gila, hal yang membedakan manusia dengan Jin, Setan dan Binatang adalah “rasa malu”. Dan rasa ini ada sejak Nenek Moyang manusia nabi Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke dunia. Dulu di surga, mereka telanjang tidak malu karena perasaan ini belum berikan Tuhan. Didunialah rasa malu tercipta. Pendeknya rasa malu adalah rasa sebagai manusia normal yang diciptakan Tuhan untuk kita. Rasa malu manusia tidak melulu karena seks atau alat kelamin, bisa pula karena rupa wajah, rupa badan sampai rupa kelakuan. Rupa kelakuan yang jelek terutama yang lahir karena tindak pidana korupsi tetap saja membuat rasa malu. “Saya tidak percaya seorang koruptor tahan pasang muka berlama-lama didepan umum, didepan kamera apalagi disaksikan anak istri/suami, orang tua/mertua. Suatu saat pasti akan tertunduk malu”.

Berbeda dengan rasa malu berkenaan akan alat kelamin yang bisa ditutupi dengan celana dan pakaian, dengan apa menutupi rasa malu karena tindak pidana apalagi korupsi? Topi hanya menutupi kepala, masker hanya menutupi sebagian wajahnya. Namanya yang menjadi jelek, bagaimana menutupi nama yang menjadi jelek? Siapa saja yang pernah mendengar nama Gayus Tambunan, Setya Novanto, Urip Tri Gunawan dan lain-lain asosiasinya langsung ke korupsi bahkan “kalau kita mengetikkan nama Gayus Tambunan atau Setya Novanto di mesin pencari Google sampai sekarang masih bisa dilihat dan dibaca apa-apa yang pernah mereka lakukan termasuk korupsinya”.

Selama masih sehat jasmani dan rohani setiap orang bahkan koruptor tetap punya perasaan malu bahkan anak istri/suami pun ikut kena imbasnya. Belum lagi bila korupsi yang pernah dilakukan adalah korupsi berjamaah dari anggota keluarga sendiri. Lebih memalukan lagi. Lebih-lebih bila kakak beradik (seperti Ratu Atut dan Wawan), suami istri (seperti Nazaruddin dan Neneng, istrinya), anak dan bapak (seperti Bupati dan Anggota DPRD di salah satu Kabupaten di pulau Madura). Memang belum ada  satu blok penjara dihuni satu keluarga besar yang korup. Kalau benar kejadian, bisa masuk Guinness Books of Record! Kalau Adik-kakak, suami-istri atau bapak dan anak tinggal tanya Pak Jayasuprana, bisa apa tidak dimasukkan kedalam Musium Record Indonesia.

BUKAN MALU TAPI SERAKAH!

Lebih baik malu daripada miskin? Lebih baik mana hidup miskin dengan kemungkinan bangkit untuk menjadi kaya atau hidup kaya karena korupsi  dalam sel penjara dengan kemungkinan besar akan miskin karena segala harta hasil korupsi bakalan disita oleh negara? Seperti pernah Saya ulas dalam tulisan-tulisan saya yang lain bahwa “koruptor itu bukanlah orang sembarangan, bukan karena koruptor itu pejabat publik atau negara. Korupsi itu hanya bisa dilakukan oleh pejabat publik atau negara dengan kualitas tertentu yakni SERAKAH”. Hanya yang serakahlah yang bisa korupsi. Mereka yang tidak serakah bisa hidup dengan gaji dan tunjangan saban bulan. Apalagi saat ini, gaji Pegawai Negeri Sipil berada diatas Upah Minimum Regional manapun.

Miskin, ga bakalan apalagi sekarang ini! Negara tidaklah boleh punya aparatur pemerintahan yang hidupnya miskin apalagi sampai gaji dan tunjangan sebulan hanya bisa menutupi ongkos penghidupan sampai 20 hari saja. Dulu memang ada hingga Masa Orde Baru, namun sisa yang 10 hari bisa anggota keluarga yang lain dari istri anak yang sudah dewasa ikut mencari nafkah. Sedikit sekali pejabat negara atau pemerintah yang serakah dengan taruhan rasa malu atau disumpahin orang dengan pelbagai macam jenis penyakit.

Pendeknya, sekarang ini “mereka yang korupsi bukan karena takut miskin. Mereka memang serakah”. Saking serakahnya tidak lagi bisa membedakan mana yang halal dan haramnya, mana gaji dan tunjangannya sebagai aparatur pemerintah atau negara dan hasil “menyembelih hak orang lain”. Semuanya dimasukkan kedalam kantong dan dipakai untuk ngempanin anak bini sampai pergi haji.

 

Penulis: TEGUH ARIANTO
Alumni: Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang



Sumber sumbar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama