Menuju Titik Perubahan Pendidikan di Indonesia

BeritaSumbar.com,-Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf telah menetapkan nama-nama menterinya. Salah satu menteri yang terpilih ialah Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A. sebagai menteri pendidikan menggantikan Prof. Dr. Muhadjir Effendy M.A.P. Ia lebih dikenal sebagai Nadiem Makarim yang merupakan founder layanan transportasi dan penyedia jasa online bernama Go-Jek. Keputusan Jokowi-Ma’ruf memilih Nadiem sebagai menteri pendidikan pada mulanya menuai pro-kontra. Bagaimana tidak? Nadiem diketahui tidak memiliki banyak pengalaman di bidang pendidikan. Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional di Brown University, Amerika Serikat dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 2006. Tiga tahun kemudian ia mengambil pasca-sarjana dan meraih gelar Master of Business Administration di Harvard Business School. Pada tahun 2011 ia menjadi Co-Founder dan Managing Director Zalora Indonesia. Akan tetapi di tahun 2012, ia memutuskan keluar dari Zalora dan mulai merintis Go-Jek.

Latar belakang kariernya sebagai pengusaha membuat sebagian orang meragukan kemampuannya menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan atau yang biasa disingkap menjadi mendikbud. Namun, baru-baru ini, Nadiem sebagai Mendikbud menyampaikan pidatonya dalam rangka Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25 November kemarin. Pidatonya yang singkat, padat, namun tepat sasaran mendapat perhatian dan apresiasi dari berbagai kalangan, terlebih para guru itu sendiri. Ia dinilai anti-mainstream dan inovatif.

Menjadi menteri pendidikan di era yang serba digital ini sebenarnya merupakan sebuah tantangan. Ditunjang oleh berbagai peralatan canggih, smartphone, dan peradaban yang kian modern mengharuskan adanya sebuah terobosan baru guna memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Kegiatan yang cenderung monoton membuat minat dan keaktifan  murid menjadi berkurang. Padahal harusnya guru dibekali oleh softskill yang nantinya mampu untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif. Hal ini menjadi tugas penting menteri pendidikan untuk membuat sebuah perubahan yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Di Indonesia sendiri, nilai masih menjadi tolak ukur dan prestasi murid. Orang tua akan bangga jika mengetahui anaknya memperoleh nilai yang sempurna. Akan tetapi sebaliknya, anak-anak yang mendapat nilai yang kurang baik membuat orang tua mengeluh, mempertanyakan, mengapa anaknya tidak bisa. Siapakah yang salah, siswa atau gurunya? Beberapa orang tua menuntut anaknya untuk bisa ini dan itu tanpa berusaha mengetahui minat dan bakat anaknya. Padahal tidak semua anak pandai dalam akademik. Beberapa anak lebih menyukai kegiatan non-akademik dibanding kegiatan belajar mengajar di kelas yang dinilainya terlalu monoton. Jika nilai akhir, rapot dan sebagainya masih menjadi tolak ukur kecerdasan anak, bagaimana dengan anak-anak yang memilih untuk mengasah minat dan bakatnya di luar kelas? Sebagai contoh, seorang atlet renang, taekwondo, dan cabang olahraga lainnya akan berbeda dengan seorang ahli matematika, fisika, dan cabang ilmu sains lainnya. Tidak hanya anak-anak yang pandai dalam ilmu sains saja yang dianggap cerdas. Sedang para atlet, apakah kemampuan mereka tidak dianggap sebuah prestasi juga? Permasalahan ini menjadi tanda tanya besar, bahwa nilai yang sempurna tidak melulu menjadi tolak ukur kecerdasan anak. Masih banyak prestasi-prestasi lain di luar akademik yang bisa menjadi pembuktian bahwa tidak hanya anak-anak peraih ranking tertinggi saja yang mendapat perhatian dan apresiasi, melainkan anak-anak yang mampu menorehkan prestasi non-akademik juga layak mendapatkan apresiasi yang sama.

Nadiem sendiri menginginkan mindset tersebut tidak lagi menjadi tolak ukur pendidikan di Indonesia. Ia ingin membuat sebuah perubahan besar, yakni menerapkan sistem fleksibel ke dalam kurikulum dan tata kelola organisasi sekolah. Menurutnya, kurikulum yang fleksibel dinilai dapat memaksimalkan pengembangan pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang kaku hanya akan berdampak buruk dan membuat para guru terbebani dengan hal-hal yang tidak memiliki manfaat yang jelas. Pendekatan kurikulum yang lebih fleksibel dimaknai sebagai kurikulum yang sesuai dan selaras dengan kondisi dan potensi yang ada. Hal ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan siswa. Namun kurikulum ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam berbagai bidang. Pendidikan karakter dan sosial baiknya sudah mulai diajarkan sejak calon guru masih duduk di bangku perkuliahan. Kesiapan dan kemampuan sebagai tenaga pengajar pendidikan membutuhkan perhatian lebih daripada sekadar mendapat gelar sarjana pendidikan. Sehingga nantinya kurikulum ini dapat sejalan dengan perubahan yang ada.

Penulis: Manaya Qurrota A’yun



Sumber sumbar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama