Mendadak Tan Malaka

Seorang kawan dari Payakumbuh Sumatera Barat, dalam sebuah pos ronda dunia maya, tiba-tiba membagikan tentang kegiatannya. Kegiatan yang terasa “asing” di pos ronda itu, Dialog Kebangsaan Tan Malaka Institute, dengan tema “Tan Malaka, Islam dan Gerakan Mencapai Indonesia Merdeka”, yang akan digelar di Padang 24 April 2016.

Dialog dan tema yang sempat membuat dahi saya berkerut. Agar tak terlalu lama berkerut, saya putuskan untuk membuka lebih jelas informasi itu.

Kenapa dia membagikan informasi itu?

O ternyata dia menjadi bagian dari dialog itu. Menjadi salah satu panitia yang bisa dihubungi khalayak yang ingin ikut serta.

Ketika kerutan itu menemukan jawab, seorang kawan lainnya berkomentar, “ngapain di-share? Apa manfaatnya?”

“Waduh, gak manfaat ya? Emang yang manfaat seperti apa? Saya panitia dan pendiri Tan Malaka Institute,” jawab kawan Payakumbuh itu.

Lalu dialog menjadi menarik, tentang apa dan siapa itu Tan Malaka. Iya, kita tidak kenal Tan Malaka. Tak banyak dibahas dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Bahkan sepertinya tak ada nama itu. Disana hanya ada Soekarno, Hatta, Soedirman, HOS Tjokroaminoto dan yang lainnya.

“Kalau ente-ente bilang Tan Malaka PKI, berarti orang Payakumbuh yang tinggal di sepanjang Jalan Tan Malaka yang panjangnya 40 kilometer lebih kurang itu PKI semua. Di Payakumbuh ada jalan nasional dengan nama Tan Malaka, resmi gak ada masalah. Ini acara saya buat untuk membersihkan nama baik beliau,” serius kawan saya dari Payakumbuh itu. Lalu setelah itu, beranjaklah dia dari Pos Ronda.

“Yah kok pulang, padahal kita ingin tahu lebih banyak soal Tan Malaka,” ujar seorang kawan dari kabupaten di Jawa Barat yang bupatinya sedang berurusan dengan KPK.

“Hahaha….memperdebatkan Tan Malaka, sama saja dengan mendiskusikan RA Kartini. Orang bilang Kartini itu penganut teosufisme, tapi ada juga yang bilang Kartini itu seorang hamba yang hanif. Tergantung dari perspektif yang mana?” diskusi di Pos Ronda menjadi semakin menarik.

“Konon, kata orang sejarah itu tergantung yang nulis. Nah yang nulis itu juga tergantung yang berkuasa. Boleh jadi ada tentang Tan Malaka yang tak tersampaikan,” sebuah komentar bijak meluncur dari kepala Hansip penjaga Pos Ronda. Komentar bijak yang menyambut kembali kedatangan kawan dari Payakumbuh.

“Nyimak! Belum khatam soal Tan Malaka. Terlalu banyak versi, ditunggu pencerahannya,” timpal kawan yang lain.

“Karena banyak kepentingan soal Tan Malaka. Perihal PKI pun kita harus berjelas-jelas dulu. PKI 1965 atau PKI 1921?” jelas kawan dari Payakumbuh itu.

“Dalam MADILOG karya Tan Malaka ada semangat yang sama. Ujung-ujungnya adalah perihal Tauhid. Karena itulah Buya HAMKA tak ragu berikan pengantar terhadap karya Tan ini,” lanjutnya.

“Maaf baru datang. Dia sosok yang seolah ingin dibuang dari panggung sejarah indonesia. Karena itu, eksistensi dan karakternya dihabisi. Baik oleh orde lama maupun orde baru. Tan Malaka lebih condong ke sosialis ketimbang komunis. Hafizh qur’an, tidak menikah karna hal yg sama seperti Sayyid Quthb, kuburnya tidak diketahui,” komentar seorang kawan dari Cilacap, suami dari seorang bidan desa.

Lalu kawan dari Payakumbuh ini kembali melanjutkan kisahnya tentang Tan Malaka. Menurut penjelasannya, jasa Tan Malaka cukup besar dan menjadi salah satu guru bagi Soekarno.

“Soekarno dipenjara belanda gara-gara menyimpan dan membaca bukunya. Yang memiliki konsep republik dan menggagas republik itu sendiri adalah Tan Malaka, dengan karyanya Naar de Republiek,” Kawan Payakumbuh menjelaskan.

Namun, untuk lebih jelasnya, kata kawan saya ini, anda bisa mengunjungi website Tanmalaka.id

Hari itu, pos ronda mendadak Tan Malaka. Saya, sebagai anggota di pos ronda itu, menjadi semakin merasa kecil dan belum banyak tahu. Semoga semangat membaca yang tumbuh. Semangat untuk terus mencari tahu, dengan membaca tentunya.

Enjang Anwar Sanusi
[Pemred bekasimedia]

The post Mendadak Tan Malaka appeared first on BEKASIMEDIA.COM.



Sumber Suara Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama