Padang,BeritaSumbar.com,-Perzinahan atau perbuatan-perbuatan yang mengarah kepadanya dulu dianggap sangat tabu, namun sekarang berangsur-angsur menjadi sesuatu yang biasa saja di mata sebahagian masyarakat. Perzinahan pada zaman sekarang terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perzinahan akibat pergaulan muda-mudi, perzinahan yang melibatkan transaksi uang, perzinahan dengan memiliki wanita simpanan layaknya seperti istri tapi tidak dinikahi, serta perzinahan akibat perselingkuhan teman kerja dan lainnya.
Semua bentuk-bentuk perzinahan itu kadang di mata masyarakat dianggap biasa. Masyarakat seolah mudah menerima istilah-istilah pengganti perzinahan itu dengan istilah lain yang sebenarnya secara berangsur-angsur akan menjadikan perbuatan itu sebagai suatu kewajaran secara psikologis tanpa sadar. Penggunaan bahasa secara ‘eufemisme’ dengan mengganti istilah zina dengan istilah lain, dengan berbagai dalih rasa kemanusian pada para penzina.
Anak muda yang keluar malam dangan lawan jenisnya hingga larut malam, dan tidak ditemani muhrim sekarang adalah sesuatu yang lumrah. Masyarakatpun banyak yang menganggap itu suatu yang wajar, dan bahkan dianggap sebagi bentuk kemajuan atau modern.
Jika terjadi hubungan seks diluar nikah pada anak muda, sebahagian orang tuanya pun mengangap hal yang wajar, karena ia melakukannnya dengan pasangan yahg disukainya. Selingkuh dengan teman kerja dianggap sebagi tren masa kini, dan bahkan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai bentuk ‘rekreasi’ menghilangkan suntuk dalam bekerja.
Begitu juga halnya dengan perzinahan dengan transaksi uang atau pelacuran diganti istilahnya dengan ‘Pekerja Seks Komersial’ (PSK). Dengan menggunakan istilah ini, sadar atau tidak kita akan memandang pelacuran sebagai suatu pekerjaan. Lambat laun, jika pemahaman ini terus mendalam maka akhirnya akan menyamakan pelacuran sebagaimana layaknya pekerjaaan-pekerjaan lainnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Penggunaan istilah Pekerja Seks Komersial di Indonesia, sebenarnya dengan latah meniru dan menterjemahkan “Comercial Sex Worker” yang dipelopori oleh sebahagian dari radical feminist di beberapa Negara Barat yang menginginkan adanya legalitas pelacuran.
Hingga akhirnya, pelacuran yang dulunya dilakukan hanya oleh orang-orang dengan keterpaksaan akibat desakan kemiskinan dan tidak ada pilihan pekerjaan lainnya, kini mulai beranjak menjadi kelas-kelas hotel berbintang. Inilah yang sudah terungkap diantaranya beberapa waktu yang lalu. Para penjaja seks kelas tinggi dari kalangan selebriti degan tarif puluhan juta.
Mereka yang demikian itu tampil layaknya pekerja kantoran atau model yang selalu berpakaian menarik. Mereka melakukan itu bukanlah karena desakan kebutuhan ekonomi tapi lebih lagi karena mnginginkan kekayaan dan kemewahan dengan jalan pintas. Pada saat yang sama, para pelanggan pelacuran adalah orang-orang yang sebenarnya menyuburkan dan melestarikan perbuatan maksiat ini.
Apapun bentuknya dan apapun alasannya, semuanya hubungan maksiat itu tetap sama yakni zina, dan zina sangat dibenci dan dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala (Al-Isra’ [17]:32):“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam ayat diatas jelas Allah subhanahu wata’ala melarang segala bentuk perzinahan. Tidak ada satu alasanpun yang dapat dibenarkan untuk melakukan zina, apakah alasan ekonomi, alasan keluarga atau lainnya. Apalagi jika yang melakukannya itu hanya untuk melampiaskan nafsu belaka, berfoya-foya atau mencari sensasi.
Lebih lanjut, pada ayat tersebut juga dikatakan bahwa pada perzinahan ada sesuatu yang keji (Fahisyah) dan buruk (Syuk). Keji dan buruk dari zina terbukti dengan segala apa akibatnya dan segala yang terjadi disekitar perzinahan itu. Secara sosial, perzinahan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Salah satu bentuk buruk dari akibatnya itu adalah meningkatnya penularan penyakit seksual, hepatitis B dan C, dan HIV/AIDS.
Prostotusi khususnya, telah terbukti dalam berbagai penelitian sebagai salah satu media utama transmisi infeksi HIV/AIDS. Penyakit ini sangat mematikan dan belum ada obatnya yang dapat menyebuhkan sempurna. Baik secara nasional ataupun Provinsi Sumatera Barat, pelaku prostitusi dan para pelanggannya menjadi komunitas utama dalam epidemi kasus HIV/AIDS. Harus diakui, semakin tingginya kasus HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan masalah prostitusi juga semakin marak, dengan segala bentuk cara dan gaya pemasarannya.
Lebih lanjut, jika pelaku prostitusi tersebut sudah terinfeksi maka dengan sendirinya akan menularkan ke pada semua pelanggannya. Sebaliknya, jika pelanggan yang sudah terinfeksi, maka akan menularkan pada pelaku. Selanjutnya akan menularkan pada semua pelanggan lainnya. Para pelanggan sudah beristri, maka jelas akan menularkan pula kepada istrinya. Selanjutnya jadilah penularan yang tak pernah berhenti.
Pencegahan yang dilakukan selama ini dalam mengatasi penularan HIV/AIDS dan berbagai penyakit menular seksual adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para pelaku untuk meggunakan kondom. Kondom dianggapa dapat memberikan solusi dan proteksi sehingga prostitusi menjadi aman.
Namun berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa pemakaian kondom pada prostitusi sangat rendah. Hal ini tidak hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di neraga-negara maju. Rendahnya proteksi dengan memakai kondom tidak hanya karena kurang pengetahuan tetapi juga akibat dorongan seksual yang ingin diharapkan para pelanggannya. Tambahan lagi, para penjaja seks umumnya mempunyai posisi tawar yang lemah karena terkait dengan ketergantungan mereka untuk mendapatkan uang.
Oleh karena itu, pendekatan “Harm reduction strategy” dengan upaya meningkatkan kesadaran memakai kondim, dalam mencegah atau apalagi memberantas HIV/AIDS adalah sesuatu hal yang mustahil. Pencegahan penyakit yang terakit perilaku, bukan hal matematis yang dapat diukur secara teoritis.
Upaya yang mesti dilakukan adalah melalui kontrol sosial mencegah segala bentuk yang memudahkan prostitusi terjadi dan menghambat segala bentuk yang memudahlan terjadinya perzinahan. Sesungguhnya, masyarakat yang mulai permisif terhadap perilaku di lingkungannya yang mengarah pada perzinahan, tanpa sadar, ia juga mulai tidak peduli terhadap adanya prostutisi.
Oleh: Hardisman, MD, PhD
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumber sumbar