Stressor Yang di Alami Perawat Indonesia Dalam Pandemi Covid-19

Wabah Covid-19 yang melanda Indonesia dan 214 negara internasional lainnya telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai “Public Health Emergency of International Concern”. Konfirmasi kasus Covid-19 seluruh dunia mencapai 3.557.235 kasus positif. Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin meningkat. Dua kasus positif pertama di Indonesia diumumkan tanggal 2 Maret 2020. Berdasarkan data infografis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per tanggal 6 Mei 2020 jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 12.438 kasus dengan 895 pasien meninggal, yang tersebar pada 34 Provinsi dan 350 Kabupaten/ Kota.

Laju penularan coronavirus yang begitu cepat dan peningkatan jumlah kasus menjadi tantangan terbesar bagi layanan kesehatan nasional. Profesi perawat sebagai salah satu “frontline worker” dalam penanganan kasus Covid-19 menjadi bagian yang krusial. Perawat adalah bagian yang selama 24 jam memberikan asuhan keperawatan dan terpapar langsung dengan pasien Covid-19. Tidak sedikit resiko yang mengancam perawat dalam melaksanakan tugasnya termasuk tertular coronavirus. Hal ini menjadi beban mental tersendiri bagi perawat dalam menghadapi pandemik Covid-19. Perawat juga merasakan cemas, stress, takut dan depresi dalam menangani wabah ini, wajar saja karena perawat menjadi profesi yang sangat rentan untuk tertular Covid-19.

Hasil survey yang dilakukan pada 535 perawat dari 119 Rumah Sakit rujukan Covid-19 di Indonesia, ditemukan beberapa stressor yang dialami perawat dalam menghadapi wabah Covid-19. Pertama, resiko terpaparnya virus corona pada keluarga dan lingkungan sosial lainnya menjadi stressor terbesar bagi perawat. Hampir 80% dari 535 perawat tersebut mengalami beban mental ini. Dalam keseharian bekerja perawat terpapar dengan pasien Covid-19 dan tidak tertutup kemungkinan untuk terinfeksi. Selesai bekerja mereka pulang ke rumah, bertemu dengan keluarga dan lingkungan sosial lainnya. Hal ini membuka peluang besar untuk berkembangnya rantai penularan Covid-19. Dengan penempatan perawat Covid-19 pada lokasi khusus yang disediakan pemerintah menjadi cara untuk mencegah terjadinya kontak atau transmisi virus pada keluarga dan lingkungan sosial perawat.

Stressor kedua adalah belum terdeteksinya pasien yang terinfeksi Covid-19 (Orang Tanpa Gejala). Tidak sedikit pasien yang masuk Rumah Sakit dengan keluhan penyakit lain dan dirawat di ruang perawatan biasa ternyata positif Covid-19 tanpa diketahui sebelumnya. Sementara perawat sudah lebih dahulu terpapar dengan pasien tanpa alat pelindung diri (APD) sesuai standar untuk pasien Covid-19. Infeksi coronavirus sebagai “newly emerging disease” ternyata tidak saja menimbulkan gejala spesifik seperti batuk kering, sesak nafas, flu, demam, nyeri ulu hati dan diare. Namun orang yang terinfeksi Covid-19 juga dapat mengalami peradangan kelopak mata bahkan tanpa timbul gejala apapun.

Faktor ketiga yang menjadi stressor adalah ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang tidak sesuai standar. Pada awal berjangkitnya wabah Covid-19, banyak Rumah Sakit kekurangan APD, sehingga perawat dan tenaga medis lainnya menggunakan APD yang tidak sesuai standar penanganan pasien Covid-19 dalam merawat pasien. Hal ini tentu saja menjadi resiko besar untuk tertular Covid-19. Tidak sedikit perawat yang tertular dan gugur dalam penanganan wabah Covid-19 ini. Dari data PPNI hingga saat ini sebanyak 19 orang perawat terinfeksi dan meninggal dunia akibat Covid-19.

Terpapar dengan pasien positif Covid-19 menjadi stressor ke 4 yang sering dialami perawat di Indonesia. Sebanyak 43% perawat mengalami stressor ini, merawat pasien Covid-19 selama satu shift, dengan memakai APD yang tidak bisa dibuka sembarangan setiap saat, sehingga membatasi gerak perawat termasuk untuk keperluan toileting, minum dan makan. Banyak video yang beredar menjelaskan situasi rekan-rekan perawat selama menggunakan hazmat (APD) harus menahan haus, menunda ke toilet dan menahan panas. Selain itu kontak erat dengan pasien Covid-19 beresiko tinggi untuk tertular, sehingga perawat harus melakukan pelayanan sesuai standar operasional prosedur.

Stressor kelima adalah stigma. Hasil survey menunjukan sebanyak 30,1% perawat mengalami stigma, mereka dijauhi dari lingkungan sosial, dikucilkan dan dilabeli seolah-olah pembawa virus. Beberapa rekan perawat disuruh pindah dari tempat kos atau kontrakan karena lingkungan sekitar takut tertular Covid-19. Hanya karena mereka adalah orang yang merawat pasien Covid-19.

Berbagai stressor yang dialami perawat akan menjadi beban psikologis dan mempengaruhi aktivitas perawat dalam bekerja. Dalam studi terdahulu oleh Maunder menunjukan pengalaman tenaga medis dalam menghadapi wabah SARS memberikan dampak psikologis tidak hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang. Hasil penelitian Kang (2020) pada 994 perawat dan dokter di Wuhan menemukan 34,4% mengalami gangguan mental ringan dan 22,4% mengalami gangguan mental sedang berupadepresi, cemas, insomnia, dan distress. Sehingga diperlukan dukungan psikologis bagi perawat dalam menghadapi Covid-19. Berbagai metode dapat dilakukan seperti story sharing, face to face konseling dan intervensi melalui media komunikasi telepon selular sebagai upaya untuk mencegah dampak psikologis yang lebih berat lagi.

Penulis: Mulyanti Roberto Muliantino

 

 



Sumber sumbar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama