Koperasikan Indonesia, Koperasikan Dunia!

Suara dari Sumatera Barat.
Bulan Juli setiap tahun adalah Bulan Koperasi, demikian dinyatakan oleh seorang Cooperator bernama Agung Setiawan HC (2020). Cooperator adalah kata dalam Bahasa Inggris yang memiliki arti pekerjasama secara koperasi, atau koperator, secara bebas dapat diartikan sebagai mereka yang kesehariannya berkoperasi bahkan memperjuangkan koperasi. HC pada nama belakang setiap koperator adalah singkatan dari Homo Cooperativus, diindonesiakan sebagai Insan Koperasi (mungkin boleh disingkat IK). Terinspirasi Georg Draheim, pemikir Jerman, pada 1950an yang mengurai HC dari “homo” (manusia) dan “cooperativus” (bekerjasama). Draheim menggambarkan Homo Cooperativus sebagai atribut bagi individu-individu dengan kepentingan pribadi (self–interest) yang sekaligus sadar perlunya mencapai sejumlah kepentingan esensial dalam kehidupan dengan bekerjasama bersama orang lain (Prio Penangsang, 2016). Menurut Prio, HC dilekatkan pada orang-orang yang menempatkan kultur kerjasama untuk mencapai kepentingan kolektif sebagai prioritas dibandingkan mereka yang memuja kompetisi animalistik untuk glorifikasi diri. Esensi dalam HC sejatinya tidak hanya termaktub dalam koperasi melainkan juga dalam narasi-narasi lain, termasuk agama dan etika.

Peringatan Hari Koperasi Internasional dan Hari Koperasi Nasional ada di bulan Juli setiap tahun. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan International Day of Cooperatives pada “Sabtu Pertama Bulan Juli”, tahun 2020 ini jatuh pada tanggal 4 Juli (Bayu Krisnamurthi, 2020). Dalam artikel Bayu, momen penting sejarah koperasi dicatatkan organisasi dari kota kecil Rochdale, Lanchire, Inggris, didirikan tahun 1844 oleh 28 orang yang berusaha untuk menyediakan alternatif produk pangan dan lainnya yang dibutuhkan masyarakat dengan cara penjualan yang jujur, terbuka, dan dengan menghormati pembeli yang kemudian menjadi anggota, kemudian organisasi juga membagi keuntungannya kepada pembeli. Tahun 1895 dilahirkan Aliansi Koperasi Internasional (ICA) oleh perwakilan koperasi dari 13 negara, saat itu didominasi wakil-wakil Eropa, koperasi dari India sebagai satu-satunya wakil Asia. Kini terdapat 312 organisasi dari 109 negara anggota ICA, dan ICA lah yang meminta dan berusaha agar gerakan koperasi diakui dan dilibatkan oleh organisasi-organisasi PBB dalam mengusahakan kehidupan dunia yang lebih baik, sehingga PBB kemudian mengakui adanya Hari Koperasi Internasional.

Sedangkan Hari Koperasi Nasional diperingati setiap tanggal 12 Juli 2020 yang tahun ini jatuh pada hari Minggu. Bapak Koperasi Indonesia Muhamad Hatta menyebut koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong. Koperasi didirikan untuk menyejahterakan anggota dan masyarakat, dan untuk membangun perekonomian nasional dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Buku Pengetahuan Perkoperasian (1977) ditulis Dahlan Djazh menyebutkan pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan kongres nasional pertama pada 12 Juli 1947, di Tasikmalaya, Jawa Barat. Terkait dengan penyelenggaraan Kongres Koperasi Pertama juga terungkap dalam buku Garis-garis Besar Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 (1954) yang diterbitkan Biro Perantjang Negara dan dicetak oleh Percetakan Negara (Wisnu Amri Hidayat, 2019).

Koperasikan Indonesia?

 Apakah koperasi menjadi sebuah sistem ekonomi politik yang akhirnya menjadi uthopia dalam memakmurkan kehidupan Rakyat Indonesia? Jika tidak, maka bagaimana mengkoperasikan Indonesia? Secara sederhana, maka setiap orang yang berkewarganegaraan Indonesia, bahkan sejak dia dilahirkan, seharusnya adalah seorang anggota koperasi. Pendirian koperasi seharusnya bukan lagi keinginan setidaknya 20 orang yang punya kepentingan yang sama, tapi seharusnya menjadi kewajiban negara untuk membangunnya.

Dimulai dengan adanya regulasi dan kebijakan yang berpihak kepada koperasi, maka harus ada satu koperasi di setiap desa/kelurahan/nagari. Koperasi sebagai institusi ekonomi-politik nasional, harus diselenggarakan dimulai dari tingkat pemerintahan terrendah sampai yang tertinggi di negara ini. Jika saat ini ada Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa, sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa (Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa). Apakah dapat dipastikan bahwa setiap warga desa sebagai masyarakat desa adalah pemilik modalnya? Dalam Peraturan Menteri tersebut, ada penjelasan (selain BUM Desa) tentang Desa, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Musyawarah Desa, Kepakatan Musyawarah Desa, Peraturan Desa, dan Menteri.

Tapi mengapa tidak ada penjelasan tentang Masyarakat Desa? Jika pada Bagian Ketiga tentang Modal BUM Desa pada Pasal 17 dan 18 modal awal, modal, dan penyertaan modal termasuk dari masyarakat desa, apakah ada kepastian tentang jumlah modal yang disertakan agar tidak terjadi ketimpangan kepemilikan modal oleh setiap orang di sebuah desa? Mengapa persoalan modal ini menjadi penting? Sebab itu berkaitan langsung dengan soal hak suara dan kewajiban bersama yang seharusnya memang tidak menimbulkan ketimpangan sosial secara umum sebagaimana prinsip berkoperasi.

Selain regulasi dan kebijakan mengkoperasikan Indonesia, juga harus ada edukasi tentang koperasi yang seharusnya justru menjadi arus utama dalam pendidikan nasional. Apalagi jika koperasi dianggap sebagai manifestasi dari ideologi Ekonomi Pancasila yang seharusnya juga menjadi dasar penyelenggaraan Ekonomi Kerakyatan di negara ini. Tentang koperasi harus menjadi pelajaran utama dalam kurikulum pendidikan nasional mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai di tingkat pendidikan tertinggi yaitu seluruh universitas dan perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Kurikulum pendidikan ini menjadi penting ketika diharapkan terbangunnya paradigma berkoperasi yang baik dan benar bagi semua orang sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Persoalan paradigma, regulasi, dan kebijakan berkoperasi secara nasional dalam teori maupun praktik ini juga sudah seringkali disuarakan oleh Suroto dalam berbagai forum diskusi dan seminar sepanjang tahun 2020 ini. Termasuk mengkoperasikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan untuk itu harus dimulai dari BUM Desa, bukan?

Koperasikan Dunia?

Sebagaimana disampaikan Bayu Krisnamurthi (2020) mengenai Aliansi Koperasi Internasional atau International Cooperative Alliance, sudah ada pengakuan internasional mengenai koperasi sebagai gerakan sosial oleh PBB. Pemaknaan gerakan sosial dalam hal ini harus diperluas sekaligus diperdalam bahwa yang sosial itu termasuk didalamnya adalah koperasi sebagai entitas ekonomi, budaya, dan politik. Secara global, tidak bisa koperasi direduksi hanya sebagai lembaga amal sosialistik saja atau badan bisnis ekonomistik belaka. Ketika koperasi yang diselenggarakan tidak pernah mampu memakmurkan para anggotanya secara ekonomi, bukankah kita akan selalu berpikir bahwa koperasi harus menjadi lembaga amal sosial? Lalu apa gunanya ada lembaga amal sosial lainnya selama ini? Atau lembaga amal sosial yang ada selama ini tumbuh subur karena tidak adanya badan usaha ekonomi yang mampu memakmurkan setiap orang secara kolektif?

Pemaknaan koperasi sebagai entitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik artinya adalah bahwa koperasi memang harus secara serius harus dikelola melalui institusionalisasi yang serius juga. Kekuatan perubahan sosial selama ini baik secara teoritik maupun praktik selalu ditopang pada kekuatan ide/gagasan, kapabilitas material/modal (sosial), dan institusionalisasi gerakan. Ketiga hal tersebut kemudian disebut sebagai kekuatan-kekuatan sosial dalam berproduksi dalam kerangka berpikir Coxian (mengikuti nalar berpikir Robert W. Cox sejak 1990-an, seorang Ilmuwan Hubungan Internasional Mahzab Kanada). Kekuatan-kekuatan sosial dalam berproduksi itulah yang kemudian bertarung secara politik untuk memenangkan perebuatan kuasa atas politik nasional yang membentuk negara.

Selanjutnya, ketika hampir setiap negara dikuasai oleh para Koperator, maka tatanan dunia dalam hubungan internasional akan terselenggara dalam struktur dan sistem yang mendukung koperasi. Dengan kalimat lain, berkoperasi sebagai gerakan sosial adalah sebuah perjuangan jangka panjang melawan hegemoni bahkan dominasi struktur dan sistem ekonomi politik internasional yang tatanan dunianya adalah (neo)liberal-kapitalistik pemuja riba untuk akmulasi kapital/modal, dan prinsip-prinsip koperasi harus menjadi tatanan dunia pasca-neo-liberal-kapitalistik!

 

Penulis:

Virtuous Setyaka

Ketua Koperasi Mandiri Dan Merdeka (KMDM).

Dosen HI FISIP Univ. Andalas, Padang.

Mahasiswa S3 HI FISIP Univ. Padjadjaran, Bandung.

 



Sumber sumbar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama