[OPINI] Tantangan Multikultural di Bekasi

Oleh: Hendriyan Rayhan*

Saat ini wilayah Bekasi tidak hanya diisi pribumi yang memiliki kesamaan dari segi budaya. Dengan demikian, perlu ada perhatian terkait identitas sosial dalam ruang multikultural di Bekasi. Dalam desakan arus globalisasi yang sangat deras, persoalan yang dihadapi oleh setiap kelompok masyarakat bukan hanya bagaimana mereka bisa bertahan hidup, akan tetapi juga sekaligus bagaimana mereka bisa melakukan peran yang bermakna dalam lingkungan kehidupan tersebut. Untuk itu maka persoalan identitas dan persoalan emansipasi  mencuat sebagai reaksi yang selalu menyertai kelompok-kelompok masyarakat, baik besar maupun kecil.
Kecenderungan untuk mempertegas identitas dan kemauan untuk melakukan emansipasi terhadap gejala universalisme yang mengarah kepada uniformitas bentuk budaya tersebut tentu dalam banyak hal akan menentukan kembali identitas primordial yang mereka hidupi sejak lama turun temurun. Kecenderungan untuk mempertegas identitas seringkali mengalami kesalahan dalam pemaknaan sehingga ditempuh dengan cara-cara yang ekstrem atau kekerasan. Konflik yang mengatasnamakan agama, suku, maupun ideologi tertentu seringkali didasarkan pada argumen mempertegas identitas tersebut.

Bekasi sebagai ruang multikultur saat ini terdiri dari aneka macam kelompok. Kelompok tersebut didasarkan atas kesamaan karakteristik budaya. Budaya yang dimaksud termasuk di dalamnya berupa bahasa, adat istiadat, agama, maupun ideologi tertentu. Identitas sosial digunakan untuk menjelaskan karakteristik sikap dan tindakan setiap kelompok, kemudian membedakannya dengan karakteristik kelompok lain dalam sikap dan tindakan.  Topik yang kemudian menjadi menarik adalah hubungan antara identitas sosial dan relasi antar kelompok.

Roderick M. Kramer (2011) dalam bukunya Social Cognition, Social Identity, and Intergroup Relations membahas masalah ini berangkat dari preposisi bahwa dalam kurun waktu yang sama setiap individu berafiliasi dengan beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki fokus kegiatan tersendiri sehingga dalam diri setiap individu terendap bermacam-macam identitas sesuai karakter afiliasinya. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks akan ditemukan kelompok-kelompok sosial. Dampak dari hal ini akan melahirkan bermacam-macam identitas sosial.

Penegasan identitas dalam hal ini merupakan hal yang lazim. Akan tetapi hal ini perlu diiringi dengan pembangunan relasi antar kelompok. Sementara Sunyoto Usman (2012) menyatakan bahwa relasi antar kelompok dapat melembagakan kohesi sosial yang ditandai dengan toleransi dan saling memahami posisi dan peran masing-masing kelompok. Dengan demikian perbedaan kultur tidak lagi menjadi pemicu konflik sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Saat ini banyak terjadi permasalahan terkait identitas sosial dalam ruang lingkup multikultural. Relasi antarkelompok diwarnai konflik ketika dirasakan terjadi kesenjangan sosial. Namun hal ini dapat dihindari dengan mengubah hubungan yang dilandasi atas kepentingan yang sama (like interest) menjadi hubungan yang dilandasi oleh kepentingan bersama (common interest).

Kepentingan yang sama cenderung menggerakkan setiap kelompok untuk bersikap egois. Hal ini didasarkan atas kepentingan individual masing-masing kelompok. Sementara kepentingan bersama akan mewujudkan usaha nyata demi kepentingan yang menguntungkan semua kelompok, tanpa peduli mayoritas ataupun minoritas, semua didasarkan atas keadilan bersama. Keadilan yang dirsakan secara menyeluruh.

Melalui gambaran teori di atas, penulis beranggapan bahwa persoalan identitas ini perlu menjadi perhatian khusus. Kesadaran akan realita keragaman kultur juga menjadi sebuah kesatuan penting yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, keadilan toleransi akan benar-benar dirasakan oleh setiap kelompok sosial. Toleransi saja belum cukup untuk mengatasi konflik. Teriakan toleransi seringkali menimbulkan masalah baru berupa diskriminasi sikap kepada kelompok tertentu. Pada akhirnya kata toleransi hanya memenangkan kelompok tertentu yang merasa dalam posisi minoritas atau terbela, sementara pada saat yang bersamaan terdapat kelompok lain yang justru merasa terpojokkan. Oleh karena itu perlu diusung  sebuah gagasan baru berupa toleransi yang berkeadilan.

Ide keadilan memang menjadi rancu dalam konteks multikultural. Perbedaan persepsi tentang batasan keadilan menjadi masalah dasar yang belum terpecahkan. Sebagian kelompok mendasarkan atas kesamaan secara kuantitas, sementara kelompok lain berpandangan bahwa adil adalah kesesuaian yang tak mesti sama dalam jumlah. Kerancuan ini semakin parah jika dikaitkan dengan identitas sosial. Identitas sosial yang terpengaruh pada faktor historis juga menjadi kendala tersendiri terhadap perwujudan keadilan. Inilah yang perlu jadi catatan bagi semua pihak, terutama bagi tokoh setiap kelompok yang merupakan tonggak kerukunan itu sendiri.

Seringkali konflik sosial terjadi karena kesalahpahaman. Hal ini diperparah dengan sikap sebagian kelompok yang enggan untuk melakukan klarifikasi atau diskusi terbuka. Perasaan senasib (in-group feeling) adalah buah dari afiliasi individu kepada kelompok. Sementara pada saat yang bersamaan ada yang disebut perasaan terhadap individu di luar dirinya (out-group feeling). Kedua rasa ini terjadi secara bersamaan, namun kecenderungan pada salah satunya itulah yang menjadi pemicu konflik. Individu yang hanya memahami perasaan dirinya akan  menimbulkan rasa paling benar (truth claim) dan tidak peduli perasaan individu dalam kelompok selainnya. Oleh karena itu, disinilah pentingnya saling mengenal (ta’aruf) dan budaya klarifikasi (tabayun).

Sebagai kesimpulan dari ulasan di atas, perlu ditekankan tentang kelaziman mempertegas identitas. Sementara pada saat yang sama perlu ditingkatkan upaya memahami dan mengenal  keragaman. Individu yang mudah tersulut emosi karena provokasi tak mendasar akan sangat merugikan, baik bagi dirinya maupun individu yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, identitas sosial dalam ruang multikultural di Bekasi hendaknya dimaknai sebagai upaya melihat keragaman dari sisi positif, yaitu membangun relasi dan kerja sama untuk kemajuan, menuju Bekasi yang lebih ihsan dan beriman.

**

Penulis lahir dan dibesarkan di Setu Kabupaten Bekasi, alumnus Ma’had Khairul Bariyyah Mustikajaya Kota Bekasi, saat ini sedang menempuh pendidikan Ushuluddin dan Pemikiran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

The post [OPINI] Tantangan Multikultural di Bekasi appeared first on BEKASIMEDIA.COM.



Sumber Suara Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama