KEMBALIKAN UANG RAKYAT DARI TANGAN KORUPTOR

Padang,Beritasumbar.com-SIARAN PERS LBH PADANG
19/S-Pers/LBH-PDG/XII/2016
Enam tahun sudah pengadilan tindak pidana korupsi eksis di ranah yudisial termasuk di Sumatera Barat. Sejak tahun 2011 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Padang telah memeriksa dan memutus 207 (dua ratus tujuh) kasus korupsi.
Pemberantasan korupsi terdiri dari 3 (tiga) langkah yakni pencegahan, penindakan dan pemulihan asset. Ketiga hal ini mestilah berjalan simultan. Menurut Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari, pemulihan asset (recovery asset) adalah isu yang penting dalam pemberantasan korupsi. Roh pemberantasan korupsi terletak pada sejauhmana proses hukum berhasil memulihkan hak-hak rakyat yang telah dirampas.

Rakyat miskin seharusnya dapat sejahtera dengan sumber daya alam yang mereka punya jika tidak ada perdagangan izin tambang, kebun dan hutan, rakyat miskin dapat mengkonsumsi daging dengan harga terjangkau jika tidak ada mafia daging sapi, rakyat miskin seharusnya dapat menikmati jalan yang mulus jika tidak ada mafia aspal, rakyat miskin bisa membeli gula lebih murah jika tidak ada mafia gula, bisa menikmati fasilitas umum terutama sekolah dan rumah sakit jika tidak ada korupsi pembangunan dan birokrasi.

Disamping itu, penegakan hukum kasus korupsi harus pula memperhitungkan uang negara yang dikeluarkan dalam proses-proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi. Untuk menyidik satu kasus korupsi di Kepolisian maupun Kejaksaan, negara menghabiskan anggaran tidak kurang dari 200 juta/ kasus. Oleh karena itu sudah sepatutnya Negara melakukan upaya sungguh-sungguh dalam pemulihan aset kasus-kasus korupsi.

Pernyataan Kejati Sumbar dalam konprensi pers pada peringatan Hari Anti Korupsi 9 Desember 2016 sebagaimana dimuat di media hari ini (Padang Ekspres) menyatakan telah menyelamatkan keuangan negara sebanyak Rp. 1. 378.969.396 dan pada tahun 2015 sebesar Rp. 1.5 Miliar. Namun Kejaksaan belum memberikan penjelasan secara rinci terkait hal tersebut. Apakah dana yang dimaksud berasal dari eksekusi pidana denda atau eksekusi uang pengganti dari terpidana korupsi.

Koordinator Divisi Bantuan Hukum, Indira Suryani menyatakan hasil penelitian LBH Padang menemukan sejak tahun 2011 sampai 2016 dari total 207, terdapat 21 Milyar lebih (Rp. 21.196.156.862) jumlah uang pengganti kasus korupsi yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap pada pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Padang. Sebelumnya, LBH Padang telah mengirimkan surat permintaan data ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat terkait jumlah uang pengganti yang berhasil dieksekusi namun hingga saat ini belum ditanggapi oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Berkaca pada hasil monitoring LBH Padang pada tahun 2014, dari 6,1 Miliar uang pengganti yang harus dipulihkan oleh kejaksaan hanya 400 juta yang berhasil di eksekusi oleh Jaksa.

Dalam sebuah panel diskusi yang dihadiri oleh KPK, Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung, Bareskrim RI bidang korupsi, hakim Mahkamah Agung, akademisi, dan praktisi pada Pertemuan Forum Anti Korupsi kelima yang dilaksanakan di Universitas Binus di Jakarta pada 27- 30 Desember 2016 mengemukakan bahwa Indonesia hanya berhasil memulihkan asset dari koruptor sebesar 35 % pada skala nasional. Diakui bahwa penegakan hukum dalam kasus korupsi hanya berfocus pada pemenjaraan pelaku dan abai dalam memulihkan keuangan negara. Oleh karena itu LBH Padang mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk segera mensahkan RUU perampasan aset untuk mengoptimalisasi pemulihan asset negara.

Khusus di Sumatera Barat LBH Padang meminta institusi Kejaksaan melakukan upaya sungguh-sungguh dalam memulihkan keuangan negara khususnya eksekusi uang pengganti terpidana kasus korupsi. Uang pengganti sendiri merupakan pidana tambahan yang besarannya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai yang dikorupsi. Aturan hukum sudah jelas menyatakan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum, maka Jaksa berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyitaan harta benda terpidana korupsi untuk kemudian dilelang guna membayar uang pengganti. Dalam hal terpidana tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang pengganti maka barulah pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya diberlakukan. Jadi Pidana penjara bukanlah alternatif dari pemberlakukan uang pengganti, sehingga Jaksa semestinya tidak dapat dengan mudah mengalihkan uang penganti yang dibebankan kepada koruptor menjadi pidana penjara.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat perlu menjelaskan kepada publik menyangkut sejauhmana upaya kejaksaan dalam menyita dan melelang asset terpidana kasus korupsi. Jika ada terpidana yang menjalankan pidana penjara atas alasan tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang perngganti maka Publik berhak untuk mendapatkan penjelasan yang terverifikasi dari Kejaksaan bahwa hal tersebut sudah didahului oleh upaya sungguh-sungguh dalam mengidentifikasi aset terpidana korupsi, menyita dan melelang asset terpidana kasus korupsi.

LBH Padang
Padang, 10 Desember 2016
Era Purnama Sari                                Indira Suryani
Direktur Koordinator                       Divisi Bantuan Hukum



Sumber sumbar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama