BEKASIMEDIA.COM – Kehidupan manusia dan sampah memang tidak bisa dipisahkan. Di mana ada aktivitas manusia, di situ pasti ada sampah.
Banyak masyarakat yang masih berpikir bahwa sampah adalah musuh. Harus dibuang sejauh-jauhnya dari tempat tinggal padahal ada nilai-nilai kebermanfaatan dari sampah yang bisa menguntungkan pemilah dan pengelolanya.
Inilah yang coba disosialisikan oleh salah seorang perintis bank sampah di kota Depok, Ike Saptawati Meina. Ia menyatakan optimis untuk Indonesia Bebas Sampah tahun 2020. Hal tersebut didasarkan pada semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dari sumbernya/rumah dan lingkungan terdekat sejak beberapa tahun ke belakang.
Saat ditanya bagaimana bisa merintis bank sampah hingga bisa mencapai jumlah ratusan unit, Ike menyatakan ia tidak berjuang sendirian. Berangkat dari kesadaran akan permasalahan sampah, ia bersama teman-teman yang memiliki minat, passion dan visi misi yang sama merintis bank sampah
“Sebenarnya berangkat dari kesadaran bersama teman-teman merintis bank sampah. Teman-teman ini yang memiliki kesadaran, minat dan visi yang sama. Kita bebrgerak dari ruang lingkup kecil dengan harapan ide yang baik ini bisa menyebar lebih luas lagi,” ucap Ike Saptawati saat ditemui di DPRD kota Bekasi, Minggu (4/12) selepas mengisi acara Diklat Perempuan Pelopor BPKK PKS kota Bekasi.
Ike melanjutkan, Pemerintah kota Depok pun melalui keberadaan 400-an lebih bank sampah yang ada ini akhirnya bisa memperkirakan seberapa ringan dan berat masalah sampah di Kota Depok.
“Karena setiap bulan kami *dapat* memberikan data-data dari bank sampah misalnya volume sampah organik yang terkumpul di bank sampah, jumlah bank sampah yang sudah berdiri, jumlah nasabah, berapa nilai rupiah omzet dari penjualan sampah dan lain-lain.
Sehingga Pemkot bisa memperkirakan seberapa ringan dan berat masalah sampah di Depok,” lanjutnya.
Sebelum hadir 400-an bank sampah ini, kata ia, memang sudah ada orang-orang yang beraktivitas memilah sampah baik secara pribadi dan komunitas lingkungan terdekatnya. Lalu ada anggota legislatif saat itu, Suparyono mulai mengajak masyarakat mendirikan bank sampah. Waktu itu dimulai dari kecamatan Sukmajaya.
“Pak Suparyono mulai mengajak mendirikan bank sampah berawal dari kecamatan Sukmajaya.
Nah, orang-orang yang tadi sudah mulai memilah sampah mulai diajak mendirikan/bergabung di bank sampah. Sekitar rentang waktu 2 tahun, di Sukmajaya hampir 100 bank sampah berdiri terus diikuti oleh kecamatan lain hingga mencapai 400 lebih bank sampah hingga kini di seluruh kota Depok,” imbuh Ike.
Ia mengakui kendala pasti ada di awal-awal merintis karena mindset masyarakat tentang sampah belum sepenuhnya benar. “Masyarakat tahunya sampah adalah musuh. Harus dibuang sejauh-jauhnya dari tempat tinggal kita. Namun setelah diberi sosialisasi bahwa dari sampah ada nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan. Misalnya sampah punya nilai ekonomis setelah didaur ulang, atau sampah organik bisa menjadi kompos,” lanjutnya.
Dari sampah-sampah itu, kata Ike yang perlu diperhatikan ternyata setelah dipilah ada sampah organik, nonorganik juga residu. Jadi cara pengolahannya pun berbeda.
Selain nilai-nilai kebermanfaatan dari sampah, ada kebanggaan juga, karena masyarakat merasa memiliki andil dalam upaya melestarikan lingkungan.
“Masyarakat bisa menghasilkan pupuk sendiri, hal yang dilakukan berartj juga mengurangi sampah di TPA dan mereka akhirnya tersadarkan manfaat bank sampah,” papar Ike lagi.
“Menjaga keberlangsungan program ini juga memerlukan energi dan sinergitas dr berbagai pihak. Beberapa hal yang bisa mempengaruhi fluktuasi dan keaktifan Bank sampah, seperti dukungan pemerintah dan elemen lain, harga jual sampah, manajemen pengurusnya, dan pengembangan kegiatan. Oleh karena itu diperlukan partisipasi komunitas lingkungan dalam pengembangan dan pemberdayaan program ini” tambah Ike yang juga sebagai koordinator komunitas Hijau Hebat (Great Green).
Untuk pola komunikasi dalam menyampaikan sosialisasi Bank Sampah, Ike menyatakan hal itu perlu dimulai dari diri sendiri sebagai role model.
“Pertama pastinya sebagai pioneer kita mulai dari diri kita. Kita jadi model dulu. Jika kita mengajarkan tapi tidak mempraktikkan maka orang tidak akan percaya. Setelah itu kita ajak mereka dan melakukan studi banding ke bank sampah yang sudah ada. Sehingga mereka mudah mempraktikkannya,” lanjutnya.
Selanjutnya, setelah diri, maka mulai mulailah sosialisasi internal keluarga dengan mengajak lingkungan terdekat, RW, RT, PKK, kecamatan kelurahan hingga pemerintah.
“Undang-undang tentang sampah di Depok sendiri sudah ada. Kalau tidak salah sejak tahun 2011 dan terakhir perda no 5 2014. Sampah terpilah organik nonorganik dan residu. Sampah harus terpilah dari sumbernya (rumah),” sambungnya.
Akan tetapi kata Ike, sosialisasi ini juga harus diiringi pendampingan. Maka cukup signifikan keberadaan komunitas Bank sampah dari tingkat kelurahan hingga kota untuk mengawal agar program pengelolaan sampah ini berjalan sustainable.
Kedepan, Ike berharap kerjasama tidak cuma dengan Pemkot tetapi bisa menjangkau lebih luas.
“Isu lingkungan itu seksi. Jika pihak-pihak tertentu melakukannya mereka akan mendapat apresiasi terutama bagi CSR. Kita sudah mulai mengajak kerjasama dengan sekolah, restoran, instansi dan kantor yang mau memilah sampah,” katanya lagi.
Ike optimis gerakan ini akan terus meluas mengingat kesadaran masyarakat juga sudah muncul.
“Saya optimis dengan banyaknya pendekatan personal dengan orang-orang, dengan visi yang sama, terus dibuat link-link sebanyak mungkin. Bank sampah itu salah satu alternatif upaya mengentaskan permasalahan sampah di Indonesia. Semoga dengan ini masyarakat semakin tersadarkan.” tukasnya. (Anr)
The post “Ubah Mindset Bahwa Sampah Adalah Musuh” appeared first on BEKASIMEDIA.COM.
Sumber Suara Jakarta