“
Menjadi jurnalis harus dari hati, jangan berharap kaya jika ingin menjadi jurnalis yang sesungguhnya.
”
Itulah pesan yang selalu Ayah sampaikan kepada anak perempuannya, ketika memutuskan untuk menjadi jurnalis.
Bagiku, Ayah adalah sosok paling inspiratif dalam hidupku selama ini, kenapa? karena kecintaan dan dedikasinya terhadap pekerjaan membuatku terus kagum memandang sosoknya dalam bingkai kehidupan.
Ayah bukanlah orang yang memiliki pendidikan tinggi. Ia hanyalah tamatan SMA yang berasal dari desa kecil di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Ayah selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mengedepankan sopan-santun dan menghargai orang lain.
Ayah adalah seorang jurnalis foto di salah satu kantor berita asing. Hampir 20 tahun dirinya bekerja dan mengabdi untuk kantor berita tersebut. Bahkan sampai saat ini, ia tidak percaya jika dirinya bisa bekerja di sana sampai selama itu.
Ayah pernah bercerita bagaimana awal mula ia bisa bekerja di sana. Katanya, dulu ia hanyalah karyawan pengganti yang tidak digaji, mengapa ia bisa jadi karyawan pengganti? karena saat itu, Kakak sepupunya sudah lebih dulu bekerja di sana, namun karena harus cuti kehamilan dan tidak bisa bekerja selama 4 bulan, alhasil, kakak sepupunya mengajak Ayah untuk menggantikan dirinya sementara.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba”. Tak lama setelah itu, Ayah diterima sebagai pegawai tetap di kantor tersebut. Selama 20 tahun ia mengabdi menjadi seorang jurnalis foto. Terkena lemparan batu dari para demonstran saat bertugas sudah biasa, menurutnya itu adalah risiko pekerjaan yang harus dijalani.
Namun, kecintaanya terhadap dunia jurnalistik harus ia tanggalkan tatkala di tahun 2014 dirinya diberhentikan secara sepihak oleh kantor tersebut.
Sedih sudah pasti, kecewa apalagi. Mengabdi dengan ketulusan selama 20 tahun, bekerja siang malam sampai mengorbankan waktu untuk anak-istri seperti sia-sia. Namun, pengalaman pahit itu tidak membuat Ayah melarang saya untuk menjadi seperti dirinya. Ia hanya berpesan, “Menjadi jurnalis adalah panggilan dari hati, jangan berharap kaya jika ingin menjadi jurnalis yang sesungguhnya.”
Ya, begitulah hidup, hari ini kita di atas, esok bisa saja kita berada di bawah tanpa kita mau, menjadi saksi bagaimana pengabdian dan kecintaan seseorang dengan pekerjaanya, memaksa untuk melepaskan apa yang dicintainya selama ini, lantas disisihkan begitu saja.
Oleh: Awita Ekasari Larasati (Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)
Gambar: rabble radio
The post Tentang Ayah dan Nasihat “Jurnalis yang Disisihkan” appeared first on BEKASIMEDIA.COM.
Sumber Suara Jakarta